Engkau Setia Cerpen Murjinah AKU adalah sebuah proses. Sebuah proses dalam sebuah hidup. Seyogianya seperti tanah liat di tangan pembentuknya, jadilah bintang apabila aku dibentuk demikian dan jadilah batu apabila aku harus dibentuk seperti batu. Aku adalah sebuah grafik pada lembaran kertas panjang. Garis-garis itu dapat mencuat tinggi, tetapi tiba-tiba dapat turun ke titik terendah. Aku juga api yang seketika menyala-nyala dan seketika padam. Berada pada malam yang jauh, aku telah melewati setengah waktu dan mungkin juga akan melewati seperempat waktu yang telah terbit di atas kepalaku. Ketika alur-alur embun luruh dan telah kuminum berserulah, "Setidaknya saat ini aku bisa kembali mencium pagi.'' Kemudian aku berjalan, sadar atau tidak, jariku telah menggandeng satu per satu detik waktu dan ketika dapat merengkuh tangan matahari, berserulah, "Setidaknya saat ini aku bisa kembali bersetubuh dengan hari.'' Semua berjalan terlewati dengan perenungan-perenungan yang kadang terpikir atau tidak. Dan, aku tahu sering bergelut dengan jalanku. Hanya pada diriku, yah... diriku: kepalaku, mataku, mulutku, hatiku, nafsuku, tanganku, kakiku, tubuhku, hanya pada diriku, bukan pada Engkau yang setia. Perenungan, yang sekali lagi, terpikir atau tidak (karena memang sering aku tidak memikirkannya, tetapi tiba-tiba bunyi jantungku berhenti, mataku menyempit, sarafku kencang meregang karena teguran yang mendadak membuatku berpikir) yang seketika itu dapat membalikkan dan memutar seluruh masa dan waktu. "Oh... Gusti, sejujurnya aku malu.'' Menangis terdiam tak tergambarkan. Engkau berdiri mengamati tetes-tetes itu yang telah mampu mengunci mulut dan menundukkan kepalaku. "Karena jujur, Gusti... aku malu.'' Aku kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; tetapi penderitaanku makin berat. Hatiku bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah; aku berbicara dengan lidahku, "Ya, Tuhan, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku! *) Tertunduk aku, tak mampu melihat-Mu. Teringat lagi pada satu penciptaan, satu pribadi yang terdiri dari tubuh, jiwa, roh... yang unik, yang dikasihi, yang disertai, yang tak pernah ditinggalkan. Tetapi saat dosa menjadi perayu, menari-nari, meliuk-liuk, dan berputar, kemudian perlahan-lahan mengeluarkan bisa dan jerat seperti tali panjang yang telah mengikat ujung rambut, tubuh sampai ujung kaki, terdiamlah satu penciptaan, satu pribadi itu. Tak bisa bergerak. Lambat laun tali bisa jerat itu pun mulai melentur membuatnya mulai ikut menari-nari, meliuk-liuk dan berputar. Dia terus menari. Sampai pada saatnya, wahai Engkau yang setia yang tak henti-hentinya mengawasi dan tak jemu-jemu mengasihi, kadang menghardik, bahkan memukul, Engkau yang membuat kembali berpikir bahwa satu penciptaan yang unik, yang dikasihi-Nya itu telah jatuh (tetapi aku tahu tidak sampai tergeletak). Aku masih menangis. Dan, Engkau masih berdiri mengamati tetes-tetes itu kian kaku dan mengunci seluruh tubuhku. Jatuh bangun. Dua kata yang melekat pada otak, pada benak. Seperti gambaran gunung saat bangun dan jurang yang dalam saat jatuh (tetapi tidak sampai tergeletak, sebab tangan-Mu, menopangku). Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab imam besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turun merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. **) "Oh... Gusti, benar itukah Engkau?'' Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapatkan pertolongan kita pada waktunya. ***) Ada yang tertahan. Tangis yang tertahan, senyum yang tertahan, yang memampukan kepalaku mulai berani memandang-Mu. "Aku mengasihimu, engkau berharga di mata-Ku.'' "Oh... Gusti'' "Aku mengasihimu, engkau berharga di mata-Ku.'' "Duh... Gusti.'' "Aku mengasihimu, engkau berharga di mata-Ku.'' "Walaupun aku berdosa?'' "Aku tetap mengasihimu, engkau tetap berharga di mata-Ku.'' *** RIBUAN masa tumpah ruah, kemarin, dahulu, yang terdahulu. Aku mengingatkan kepalaku untuk tidak mengingatnya. Tetapi jutaan waktu berjejal, berjalan mondar-mandir seenaknya, membuka satu per satu lapis-lapis peristiwa. Aku masih mengingatkan kepalaku untuk tidak lagi mengingatnya. Ternyata tak bisa! Untuk kali kedua aku harus teringat, ingat, mengingat... entahlah! Semua supaya aku tahu apa yang boleh dilakukan, harus dilakukan, atau tak akan pernah bisa dilakukan. Semua itu mulai pada saat tumbuh kaki, tanganku serta jari-jari kecil lucu yang menghias pada ujung-ujungnya, lalu menjalar ke semua bagian menjadi satu kesatuan dan tercipta sempurna saat Engkau meniupkan napas kehidupan-Mu. Aku menjadi Hawa (ah..., aku jadi ingat cerita saat di Taman Eden, saat Tuhan mengambil tulang rusuk seorang manusia, ketika ia dibuat tertidur lelap. Dari tulang rusuk itu diciptakan seorang pasangan baginya, penolong yang sepadan dengannya. Dia akan dinamakan perempuan karena diambil dari laki-laki). Lalu aku mulai belajar berjalan sampai pada waktunya kaki dan jari-jariku sudah dapat tegak untuk berjalan. Aku bertempat tinggal dan bermain di sebuah padang. Luas sekali. Di sana ditumbuhi rumput tinggi, hijau pekat, terkadang cokelat, berakar kuat, berduri. Aku telah diasuhnya. Walaupun kata orang ada banyak rumput cantik, daunnya yang cantik, bunga kecil-kecilnya yang cantik, warnanya juga cantik, hijau lumut terkadang semburat pupus, aku belum pernah melihatnya, aku cuma dengar. Suatu hari, telingaku yang menyuruhku, mendorongku kuat untuk mengambil bunga-bunga kecilnya yang akan dijadikan hiasan pada baju dan kalung pada leherku. Mungkin indah, karena aku belum pernah melihatnya, aku cuma dengar. Bergegas telapak-telapakku berayun-ayun. Tapi kuciumi aroma tiba-tiba. Entah dari mana dan seperti apa. Aku bingung. Wangi dan busuk. Iya... jelas sekali wangi, tetapi busuk. Dan, mengapa setiap ayun-ayun telapakku, rumput tinggi berduri menjulur-julurkan daunnya yang hijau pekat terkadang cokelat seperti lidah-lidah panjang meneteskan air liur bagai perekat merambat rata ke telapak dan jari. Kemudian, juluran-juluran daun seperti lidah itu mengikat kaki sehingga tak bisa lagi aku berjalan. Semakin kuciumi bau busuk memudarkan wangi. Ternyata, warna hijau pekat berubah menjadi cokelat... tua, tidak mengering tetapi lembap, busuk, dan berlendir. "Mengapa aku baru menciumnya sekarang-sekarang ini?'' "Iya, karena kaki dan jari-jarimu sudah kuat untuk berjalan.'' "Mengapa dengan rumput tinggi berduri ini?'' "Aku telah mengasuhmu, aku takkan membiarkan matamu melihat rumput yang kata telingamu cantik dengan bunga-bunga kecilnya, yang akan kaujadikan hiasan pada baju, apalagi kalung pada lehermu, karena aku yang telah mengasuhmu.'' Aku dengar jelas kata-kata itu dan aku ingin pulang. Mataku berada di balik jendela mengamati hujan buram yang datang entah dari mana. Sepertinya telah ada ikatan antara aku dan kau. Kau yang mengikatku dan mengatakan aku telah mengasuhmu. Sampai pada masa dan waktu manakala rambutku telah tumbuh panjang, begitu juga dadaku yang tak lagi rata, kaki tanganku kuat (walaupun sebenarnya aku rapuh). Masih tetap ada dalam pikirku untuk mengambil bunga-bunga kecilnya menjadi hiasan baju dan kalung di leherku. Tetapi telanjur aku sudah punya ikatan. Ikatan yang semakin lama tak tertahankan karena engkau yang telah menutup mata dengan getah lendirmu, suram maya, sehingga tidak mungkin hati tidak menjadi penurutmu, budakmu, setiap kali menciumi bau busukmu. Mataku kembali sembunyi di balik jendela, bukan saja mengamati hujan buram, melainkan aku sungguh dapat menikmati satu-satu bagian tubuhku menari-nari, meliuk-liuk dan berputar mengikuti sang perayu, yang telah mengeluarkan bisa jerat dan melilitku mulai dari ujung rambut kemudian mengikat tubuh sampai ujung kaki. Sampai pada waktunya tubuhku lemas dan jatuh (namun tidak sampai tergeletak). Aku adalah satu penciptaan, satu pribadi itu. *** PADA waktu ini kita duduk berdua. Aku bercerita tentang hidupku seluruhnya dan Kau bercerita tentang cinta dan surga-Mu. Engkau katakan Aku mencintaimu. Aku hanya menjawab ya, sebab aku ingin menenggelamkan kepala dan sekujur tubuhku dalam debu. Lalu aku melihat ada baris kata melajur perlahan... aku mengamatinya bahwa aku juga dibentuk secara dahsyat, unik, dan ajaib. Kujawab, bertahun-tahun aku belajar menyelami kedahsyatan, keunikan, dan keajaiban itu. Engkau katakan lagi Aku mengasihimu. "Bagaimana bisa, sedangkan Engkau sering menangis karena aku.'' "Sebab, Aku ini setia.'' "Bagaimana bisa?'' "Karena pikiran-Ku bukan pikiranmu dan kau tidak mampu mengerti.'' Aku mencoba menegakkan badanku, untuk semakin mendengar-Mu: kalau Engkau mengajar, menguji, bahkan memukul, semua itu supaya aku tidak menjadi anak gampang sebab Engkau bapaku. Sebaliknya menjadi satu pribadi yang kuat, lebih kuat, baik dan lebih baik, serupa dengan Engkau, menghasilkan buah-buah roh yang secara kemanusiaanku tak terlampaui segala akal. "Mana aku mampu?'' tanyaku "Mana kamu mau?'' sahut-Mu. "Aku sering jatuh,'' kataku. "Aku sedang memprosesmu,'' jawab-Mu. "Aku takut,'' lirihku. "Aku besertamu!'' tegas-Mu. "Sungguh?'' tanyaku. "Sebab Aku setia,'' janji-Mu. Ada tertulis. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu. Ajari aku mencari wajah-Mu untuk setiap jalan yang mungkin tak lagi gentar dan pada bibir yang mencoba tak lagi gemetar. Sebab, aku bersyukur bahwa aku tak pernah sendiri dan tak akan pernah mampu sendiri. Malam ini aku mengingatku hanya untuk aku. Tetapi aku juga mengingat-Mu malam ini hanya untuk kita, kita berdua. Karena tak mungkin ada yang tertutupi dan tersembunyi dariku pada-Mu. Tidak pernah mampu terkatakan saat harus diam dan belajar menghitung satu-satu yang pernah Engkau berikan. Mungkin seperti seorang bayi yang hanya bisa menangis apabila menginginkan sesuatu, atau seperti anak kecil yang sedang belajar makan atau bahkan seperti orang buta sehingga Engkau harus menuntun, menyuapi, bahkan menggendong. Bukan itu saja, Engkau menyelidiki lapis-lapis pikir dan setiap lembaran hati yang berasa dan bermakna (berasa manis atau pahit; bermakna baik atau jahat) atau mungkin juga berbau (bau wangi atau busuk). Engkau pun tahu berapa banyak helai rambut di kulit kepalaku, karena Engkau mengenalku jauh sebelum aku dibentuk dalam rahim ibuku. Bukan aku yang memilih-Mu, melainkan Engkau yang memilihku. Bukan aku yang mencintai-Mu, melainkan terlebih dahulu Engkau yang mencintaiku. Engkau mengamati setiap kata yang terlontar atau tertelan dari bibirku. Engkau memperdengarkan telinga-Mu ke telingaku. Engkau menajamkan mata-Mu untuk mengawasi mataku. Engkau memperhatikan setiap aliran napas yang keluar-masuk pada rongga mulut dan hidungku. Apabila tanganku bergerak, Engkau juga bergerak. Apabila kakiku berjalan, Engkau berjalan. Tidak pernah sedikit pun bahasa dan gerak tubuhku, semua yang ada padaku, terlewatkan oleh-Mu. Aku lapar Engkau memberiku makan, aku haus Engkau memberiku minum, aku telanjang Engkau memberiku pakaian. Aku sangat tahu cinta-Mu. Pada saat harus diam atau berlari mengejar, menangis atau tertawa, menginjak atau bahkan terinjak, Engkau tidak pernah meninggalkan. Sungguh. Engkau memuaskan. (72g) Buat Engkau yang aku tahu setia